Penyebab Pendidikan di Indonesia Sulit Berkembang (Part 2)

Penyebab Pendidikan di Indonesia Sulit Berkembang (Part 2)

Ehem...ehem...
Jumpa lagi dengan tulisan saya. Yaaa, begini ini tulisannya, acak adut. Dari pada banyak ide yang ngendeng di pikiran, lebih baik saya tulis saja di blog ini. Siapa tahu jadi inspirasi buat teman-teman.

Menyambung tulisan saya tentang penyebab pendidikan seolah tidak berubah (part 1). Di dalam tulisan tersebut terfokus pada langkah pemerintah sebagai pemegang tertinggi pendidikan kurang maksimal. Kurikulum diubah berkali-kali, tapi pendampingan terhadap guru sebagai pelaksana kurikulum sangatlah minim.

Tulisan saya ini akan fokus pada insentif pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.

Bagi anda yang pernah jadi guru atau punya saudara guru, atau mungkin dekat dengan guru, pasti tau lah bagaimana perjuangan mereka. Pagi berangkat dampingi siswa-siswi. Dan tentu itu bukan beban ringan. Kalau ada salahnya dengan siswa, yang disalahkan pasti guru toh. Siswane gak iso moco, sing disalahno pertama kali yo gurune.

Beban berat tersebut ternyata tidak sebanding dengan insentif atau gaji yang diterima guru. Guru yang saya maksud adalah guru non PNS  dan non Sertifikasi lhoo. Ini terutama untuk guru honorer dan guru yayasan yang belum sertifikasi.

Banyak cerita dan desas-desus gaji guru honorer ada yang 150 ribu/ bulan. Itupun dibayarkan 6 bulan sekali. Kalau di hitung, perhari hanya 5 ribu rupiah. Nominal yang fantastis. Heeheeh

Dengan nominal yang kecil tersebut, malah ada yang telat-telat bayarnya karena kendala dana BOS dari pemerintah telat. Nominal yang kecil tersebut tentu berdampak pada kehidupan sehari-hari guru. Mereka harus mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Otomatis pikiran akan terpecah karena harus mencukupi kebutuhan keluarga.

Pendidikan bisa meningkat dengan kondisi pendidiknya yang seperti itu? Saya kira mustahil. Kalaupun bisa yaaa meningkat sedikit. Sedikit sekali.

Lalu bagaimana solusinya? Kalau ditanya solusinya, saya juga repot mau jawab apa. Saya saja mengalami hal tersebut, dan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali harus nyambi usaha lain.

Tapi di pikiran saya terbersit angan-angan bahwa sekolah harus melepas ketergantungan dana dari pemerintah. Sekolah harus bisa mandiri dari segi biaya. Cara yang paling tokcer menurut saya adalah dengan membuka unit usaha sebanyak-banyaknya. Hasil usaha tersebut bisa digunakan sebagai sumber utama dalam membiayai operasional sekolah, terutama gaji guru.

Lalu, standart gaji guru berapa? Menurut saya ya minimal sesuai Upah Minimum Regional (UMR). Meski saya dulu pernah disangkal bahwa guru tidak sama dengan buruh pabrik. Yang menggaji beda, yang ngurusi beda. Okee itu beda, tapi apa salahnya menempatkan guru sebagai pekerjaan di atas pekerjaan lain. Kalau perlu di atas presiden. Kalau gak ada guru, gak ada presiden loo.

Langkah kedua ini yang rada sulit diubah, karena berkaitan dengan cara pandang atau pola pikir. Lha wong anggapan masyarakat masih menganggap bahwa guru itu mengabdi, gak boleh nuntut gaji. Seolah guru seperti pahlawan edisi 45 dulu yang pokok perang, mangan gak'e ora perlu dipikir.  Gila daaahhh dengan paradigma pemikiran tersebut.

Justru guru itu harus dimakmurkan biar mereka bisa fokus mendidik sehingga membuahkan hasil lulusan yang berkualitas.

Sekian dulu tulisan saya, nanri saya sambung part 3.





Mas Ito
Mas Ito Blogger, agropreneur

Tidak ada komentar untuk "Penyebab Pendidikan di Indonesia Sulit Berkembang (Part 2)"